Sekolah bisnis....




SWA: Survei SWA-MARS menghasilkan peringkat sekolah bisnis terbaik. Siapa saja mereka? Apa yang membuat mereka dipersepsikan terbaik? Apa yang diharapkan seseorang ketika memutuskan meraih gelar Magister Manajemen?

"Pendidikan ini akan menjadi investasi jangka panjang yang bermanfaat untuk pengembangan diri dan karier saya di masa mendatang, termasuk peningkatan pendapatan tentunya," demikian seorang mahasiswa MM Universitas Indonesia angkatan 2003 (sebut saja Eddy) mengungkap alasannya.



Ia optimistis, program yang sedang digelutinya saat ini dapat memperluas cara pandangnya dan wawasan ilmu pengetahuannya. Bahkan, "Saya berharap, pola pikir akan semakin terarah dan realistis.” Hal itu dimungkinkan, lantaran, "Ilmu yang kami pelajari di sini lebih bersifat terapan.” Begitulah pesona MM. Gelarnya dipandang menjadi selembar tiket untuk memperoleh peluang besar bekerja di perusahaan multinasional kelas atas, seperti IBM, General Electric, Ford Motor dan Unilever.

Di Indonesia, lulus sekolah MM juga diyakini menjadi simbol sukses dalam merentas karier. Gaji tinggi, fasilitas menarik dan jabatan bergengsi, seakan-akan terhampar di depan mata. Akibatnya, bukan hanya sekolah MM yang tumbuh subur. Lulusannya pun membanjiri pasar kerja. Sayangnya, kualitas mereka kini dipertanyakan karena banyak sekolah tinggi yang menawarkan program ini, tak jelas kredibilitasnya. Padahal, biaya sekolahnya jauh lebih tinggi daripada program pascasarjana lainnya. Sangat disayangkan bila sudah menguras tabungan, ternyata hasil yang diperoleh tidak sesuai harapan. Berangkat dari alasan menampilkan sekolah bisnis yang bisa dipercaya, SWA bekerja sama dengan lembaga riset independen, MARS, melakukan survei untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang sekolah bisnis yang dianggap terbaik.

Dari persepsi yang terbentuk, selanjutnya dibuat peringkat sekolah bisnis terbaik. Survei ini dilakukan dari pertengahan Mei hingga akhir Juli lalu di tiga kota besar: Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Responden yang terlibat dalam penelitian ini berasal dari kalangan calon mahasiswa, mahasiswa, alumni, user dan recruiter, yang jumlahnya mencapai 656 orang. Untuk memudahkan survei, responden dikelompokkan dalam dua panel. Panel 1, terdiri dari calon mahasiswa, mahasiswa dan alumni. Adapun Panel 2, user dan recruiter. Dalam hal ini, ada 13 sekolah bisnis yang ditanyakan ke para responden. Pengambilan sampel ke-13 sekolah bisnis tersebut didasarkan pada peringkat yang dikeluarkan Badan Akreditasi Nasional (BAN).

Pendekatan yang dilakukan dalam survei ini mencakup tiga hal, brand awareness (top of mind), image study dan satisfaction study. Brand awareness bertujuan mengetahui sekolah bisnis mana yang paling kuat dikenal responden. Image study dilakukan untuk mengenali persepsi responden. Sementara satisfaction study, untuk mengetahui tingkat kepuasan. Hasilnya? Dilihat dari skor total Panel 1 dan 2, MM UI berhasil meraih peringkat teratas dengan perolehan 55,92.

Di peringkat kedua, bertengger STM Prasetiya Mulya dengan total score 48,08. Berikutnya, STM IPMI (41,07), MM Universitas Gadjah Mada (40,87) dan MM Institut Pertanian Bogor (38,96).

Peringkat sekolah bisnis terbaik selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Bila ditelusuri, atribut yang diukur dalam pengukuran skor meliputi: top of mind (TOM), best performance (sekolah bisnis terbaik menurut persepsi responden), image score (jumlah masing-masing image sesuai tingkat kepentingan menurut persepsi responden) dan satisfaction performance (tingkat kepuasan responden terhadap performa/kinerja sekolah bisnis yang dinilai).

Berdasarkan persepsi total pada Panel 1 -- meliputi empat atribut di atas -- MM UI menempati urutan pertama, dengan nilai TOM (28,30) dan image (72,54) tertinggi. Untuk kategori best performance dan satisfaction performance, MM UI masih di bawah yang lain. Di kategori best performance, nama yang muncul di peringkat pertama adalah IPMI, dengan skor 90,00. Di bawahnya, MM UI dan Prasetiya Mulya meraih nilai sama: 83,87. Untuk kategori satisfaction performance, Prasetiya Mulya memperoleh skor tertinggi, 73,00. Gambaran lengkap tentang persepsi total Panel 1 dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan data mentah yang diterima, ada beberapa alasan yang membuat responden pada Panel 1 mengatakan sekolah bisnis tersebut terbaik.

Dari puluhan jawaban yang ada, setidak-tidaknya ada lima alasan tertinggi, yaitu kurikulumnya lengkap sesuai tuntutan pasar/zaman (20,13%), dosen/stafnya berkualitas (19,29%), kampusnya terkenal (10,48%), fasilitasnya bagus (10,69%) dan lulusannya banyak yang diterima perusahaan terkenal (9,64%). Hal lain yang juga menarik disimak, dari jawaban terbuka yang dilontarkan responden Panel 1, terdapat beberapa keunggulan spesifik di masing-masing sekolah bisnis. Umpamanya, Prasetiya Mulya, PPM dan IPMI dinilai memiliki kurikulum yang sesuai kebutuhan pasar. Ketiga sekolah bisnis itu -- ditambah MM IPB -- juga diakui telah menerapkan program kerja praktik/magang di perusahaan terkemuka.

Bahkan, Prasetiya Mulya dan PPM dinilai memiliki sistem pendidikan yang seimbang antara teori dan praktik. Di pihak lain, banyak responden melihat sistem pendidikan di MM UI cenderung ke arah akademis. Beberapa sekolah bisnis, diakui responden Panel 1 memiliki spesialisasi tertentu. MM Bina Nusantara, misalnya, dilihat sebagai sekolah bisnis yang khusus menghasilkan magister bidang teknologi informasi.

Sementara itu, MM ITB di manajemen teknik, dan MM IPB di bidang agrobisnis dan pertanian. Dilihat dari persepsi total pada Panel 2, MM UI menempati urutan pertama, dengan nilai TOM tertinggi (37,36). Untuk kategori best performance, MM UGM memperoleh nilai teratas, 18,13. Di kategori satisfaction performance, ada dua sekolah bisnis yang meraih nilai tertinggi, yaitu MM ITB dan STM Bandung -- masing-masing 68,00. Sepertinya, ini terkait langsung dengan tingkat kepuasan yang diterima user dan recruiter dari lulusan kedua sekolah ini.

Dilihat dari keahliannya, kedua sekolah bisnis ini memang lebih implementatif. Adapun untuk image sekolah bisnis terbaik, MM Binus justru memperoleh nilai tertinggi (87,85). Data persepsi total pada Panel 2, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Di luar itu, ada hal menarik yang terungkap dari persepsi responden mengenai best performance sekolah bisnis terbaik. Sebagai contoh, mahasiswa dan alumni MM Trisakti menilai MM UI (43,33) lebih tinggi dari sekolahnya sendiri (33,33).

Demikian pula dengan MM Indonusa Esa Unggul dan MM Atma Jaya Yogya. Sebagaimana MM Trisakti, mahasiswa dan alumni MM Indonusa Esa Unggul melihat MM UI (33,33) lebih tinggi dibanding sekolahnya (29,63). Sementara itu, dalam persepsi mahasiswa dan alumni MM Atma Jaya Yogya, ada tiga sekolah bisnis yang lebih baik dari tempatnya belajar, yakni STM Prasetiya Mulya (25,81), MM UI (22,58) dan MM UGM (19,35). Adapun untuk institusinya sendiri, mahasiswa dan alumni MM Atma Jaya hanya 16,13. Demikian pula untuk kategori satisfaction performance.

Pada Grafik 8 dan 9, Anda dapat melihat perbedaan menarik yang terungkap dari Panel 1 dan 2. Di Panel 1, MM ITB menduduki tempat terbawah dengan nilai 57,20. Sebaliknya, di Panel 2, MM ITB justru menempati urutan teratas dengan skor 68,00. Ada apa gerangan? Perbedaan mencolok ini antara lain disebabkan calon mahasiswa, mahasiswa dan alumni MM ITB memberikan pengharapan tinggi terhadap satisfaction performance sekolahnya. Dilihat dari karakternya, mahasiswa institusi ini secara akademis bisa dikatakan unggul. Biasanya, orang-orang yang masuk kategori ini menuntut kepuasan yang lebih tinggi dibanding kebanyakan orang.

Hasilnya, di mata mereka, MM ITB belum memberi kepuasan sesuai harapan. Di lain pihak, lulusan MM ITB sebenarnya sangat bisa diandalkan. Ini terlihat dari persepsi Panel 2 mengenai satisfaction performance MM ITB di beberapa perusahaan yang disurvei. Hanya saja, di mata Mitra Pengelola Amrop Hever, Pri Notowidigdo, lulusannya kurang dapat berkomunikasi dan bertukar pikiran dalam tim. "Ada persepsi dari klien saya, mereka terlalu matematis dan scientific oriented.

Nah, orang seperti ini lebih sulit diajak diskusi dan bertukar pikiran," ungkap pemilik jasa head hunter ini kalem. "Tapi, mungkin ini hanya kesan," ia buru-buru menambahkan. Yang perlu diketahui, dalam penghitungan akhir untuk menentukan peringkat sekolah bisnis terbaik, terdapat perbedaan pembobotan antara Panel 1 dan 2. Menurut Direktur Riset MARS, Budi Suharjo, bobot untuk Panel 1 lebih tinggi dibanding Panel 2. Alasannya, "Panel 1 memberi informasi yang lebih variatif dan mengarah ke fakta. Jumlah responden yang terjaring juga lebih banyak.” Sementara itu, informasi yang diperoleh dari Panel 2 tidak selengkap Panel 1.

Pasalnya, responden yang terjaring tidak banyak. Selain itu, "Mereka kurang tahu persis kondisi internal masing-masing sekolah bisnis yang disurvei," ujarnya. Karena kesulitan mencari responden untuk Panel 2, MARS menaikkan bobot untuk Panel 1 menjadi 70% dan 30% untuk Panel 2. Kurang berimbangnya responden pada Panel 1 dan 2, diakui Budi merupakan kelemahan survei ini. "Responden untuk Panel 2 lebih banyak yang menolak diwawancara, dengan alasan sibuk dan tak mau diganggu," jelasnya. Kelemahan lain, selain bobot Panel 2 yang lebih rendah dari Panel 1, survei ini hanya berdasarkan persepsi. "Jadi, tidak terlalu eksak, karena persepsi sangat tergantung pada siapa yang menilainya," jelasnya.

Kendati demikian, Budi berani memastikan, survei ini sudah memenuhi kaidah statistik untuk bisa dikatakan valid. Maksudnya, pihak MARS telah melakukan proses yang lazim dalam penelitian lapangan. "Kuesioner yang kami buat, reliabilitas, dan validitasnya telah diuji," tambahnya.

Selanjutnya, dari survei ini pun bisa dipahami bagaimana dimensi dan persepsi yang berkembang di masyarakat mengenai sekolah bisnis. Last but not least, survei ini juga sangat bagus untuk melengkapi hasil akreditasi yang dikeluarkan BAN. "Saya yakin, hasil survei ini memiliki nuansa tersendiri," ujar doktor lulusan Jerman yang juga aktif di BAN ini mantap. Bila dilihat perkomponen yang disurvei, persepsi sekolah bisnis di setiap panel memiliki keunggulan masing-masing. Budi mencontohkan, di Panel 1, MM UI unggul hampir di semua kategori.

Sementara ITB, unggul di Panel 2 untuk aspek kepuasaan. Ini menandakan, kedua aspek itu bisa ditangkap untuk mencari gambaran menyeluruh. Yang pasti, dari lima besar sekolah bisnis terbaik yang disurvei kali ini, masing-masing mempunyai ciri khas yang menjadi keunggulannya. MM UI, umpamanya, seperti dituturkan Ketua Programnya Ronny K. Muntoro, memiliki keunggulan pada kurikulumnya. "Kurikulum kami yang paling lengkap," klaimnya bangga.

Di samping itu, lembaga ini juga berupaya agar lulusannya menjadi manajer yang memiliki daya analisis yang tajam. Saat ini, jelas Ronny, pihaknya menggelar tiga macam program MM. Pertama, program Reguler, yang terdiri dari Manajemen Internasional, Keuangan, Operasional, Pemasaran dan SDM. Kedua, program khusus bidang keuangan seperti Aktuaria, Manajemen Risiko dan Pasar Modal.

Ketiga, program yang khusus mempelajari Manajemen Internasional. Di program terakhir ini, dijalin kerja sama dengan salah satu universitas di Prancis. Lulusannya akan memperoleh gelar ganda, yakni Magister Manajemen dari UI dan Certificat d`Aptitude a L`Administration des Enterprice dari Prancis. "Tentu saja, para lulusannya harus mampu berbahasa Perancis," katanya. Model kurikulum yang seperti itu, dijelaskan mantan Dirut Aerowisata ini, bertujuan agar semua mahasiswa dapat menjawab segala pertanyaan dasar yang muncul di dunia bisnis. Untuk itu, tiap mahasiswa diwajibkan mengambil mata kuliah dasar. Sekalipun bidang studi yang diambil Manajemen Pemasaran, misalnya, mahasiswa tetap harus mengikuti mata kuliah dasar, yang terdiri dari manajemen keuangan, operasi, SDM, hukum dan etika bisnis. "Biar kalau nanti diajak ngomong bisnis bisa nyambung," tandas pria yang ikut membidani lahirnya MM UI pada 1988 ini.

Di lain pihak, ia mengaku sering mendengar penilaian orang yang menyatakan lembaganya terkesan teoretis. "Bagi orang luar, barangkali model kurikulum seperti itu jadi terkesan teoretis," ujarnya. Untuk menghilangkan pandangan seperti itu, pihaknya berusaha menghadirkan dosen dari kalangan praktisi -- yang mengerti seluk-beluk dunia bisnis. "Kami sadar betul di UI banyak pemikir textbook, tapi kurang pengalaman praktis," ujarnya. Dalam hal ini, Ronny beruntung karena banyak praktisi yang mengajukan diri menjadi dosen di tempatnya.

Di Prasetiya Mulya, model kurikulum lebih diarahkan untuk melatih keterampilan dan pengetahuan bisnis, keterampilan kerja sama tim, mengasah intuisi dalam mengantisipasi perubahan iklim bisnis, serta membentuk sikap profesional sebagai bagian dari rencana bisnis yang komprehensif. Tak hanya itu, lulusannya juga diharapkan terampil mengimplementasikan konsep bisnis dan tanggap terhadap berbagai isu sosial, tanpa melupakan kode etik dalam berbisnis.

"Kami ingin alumni memiliki karakter yang kuat, sehingga mereka tough dalam menghadapi kompetisi usaha," tutur A. Suryo Nugroho, Direktur & Chairman Graduate Management Program Prasetiya Mulya. Hal ini, dikatakannya, sangat dimungkinkan lantaran lembaga ini memiliki kurikulum yang terintegrasi antara dunia akademis dan praktis. Program favorit para mahasiswa adalah pemasaran, keuangan, strategi bisnis dan manajemen SDM. Seluruh materi diberikan dalam bahasa Inggris. Hanya, dalam penyampaiannya penggunaan bahasa Indonesia masih dominan.

Namun, "Penggunaan bahasa Inggris kami latih terus-menerus, khususnya saat diskusi kelompok," ujarnya. Cara pengajarannya, seperti diungkapkan Associate Dean for Academic Affairs Prasetiya Mulya Sammy Kristamuljana, lebih bersifat diskusi kelompok. "Kami ingin melatih kemampuan berargumentasi yang disertai alasan yang logis," tandasnya. Manfaat diskusi ini, mahasiswa terlatih mengeluarkan pendapat, bernegosiasi, dan berpikir analitis untuk mencari solusi bisnis.

Di samping itu, Direktur Promosi dan Informasi Prasetiya Mulya Iwan K. Kahfi menambahkan, agar dapat memenuhi kebutuhan user dan recruiter, sekolah bisnis ini juga memiliki program Layanan Pengembangan karier. Dalam program ini, ada pengembangan karier alumni, konsultasi akademis dan karier, layanan informasi korporat serta rekrutmen dan presentasi korporat.

Dengan cara ini, pihak Prasetiya Mulya serta mahasiswa dan alumninya dapat mempersiapkan diri agar memiliki nilai jual lebih di pasar kerja. Juga, untuk mengetahui yang sesungguhnya diinginkan para pelaku usaha dan jasa recruiter, sekolah bisnis yang didirikan pada 1982 ini menerapkan program Career Day, yang digelar dua kali setahun, pada Juni dan November, serta tiga bulan sebelum tes akhir, Business Plan Seminar & Comprehension Exam. Sammy memperkirakan, rata-rata nilai pasar lulusan MM Reguler Prasetiya Mulya tanpa pengalaman kerja, Rp 3,5-5 juta/bulan.

Sementara lulusan dengan pengalaman kerja, rata-rata gajinya Rp 10 juta lebih/bulan. "Tetapi angka ini sangat variatif. Tergantung perusahaannya, juga kompetensi mereka nantinya," tambahnya. Dilihat dari peringkat sekolah bisnis terbaik yang dilakukan SWA dan MARS tahun ini, MM UI dan Prasetiya Mulya berada di tempat yang diinginkan semua orang. Akan tetapi, yang mesti dicermati, peringkat atas bukanlah segalanya untuk menjatuhkan pilihan. Ini tidak bisa dijadikan ukuran dan jaminan mutlak yang bersangkutan unggul dalam segala hal.

Pasalnya, dalam hal kompetensi, boleh jadi, sekolah bisnis di peringkat bawah pun tak kalah dibanding yang menduduki peringkat lima besar. Sekarang, mari kita tengok STM PPM, yang dalam survei ini berada di peringkat ke-7. Sejak awal, sekolah tinggi manajemen yang didirikan pada 1967 ini diarahkan untuk menjadi Harvard Business School-nya Indonesia.

Dalam membuat strategi, Ketua STM PPM Andi Ilham Said mengatakan, pihaknya sangat jelas merumuskan output-nya. Program Widya Wiyata, umpamanya, merupakan jembatan agar lulusan S-1 bisa masuk ke dunia kerja. Biasanya, mahasiswanya adalah fresh graduate. Di luar itu, kelas eksekutif dipersiapkan untuk menjadi public change leader. Kelas ini dibentuk karena adanya kebutuhan, agar SDM yang dihasilkan bisa membawa perubahan yang baik.

Kurikulumnya pun disesuaikan kebutuhan bisnis. "Kurikulum yang kami terapkan adalah kurikulum terbuka. Ini sangat menguntungkan, karena bisa lebih mendekati pasar," katanya. Di sini, ia menjelaskan, lembaganya tidak memberlakukan kurikulum standar. Alasannya, "Di dunia bisnis, masalah yang dihadapi terkait dengan bidang lain". Karena itu, PPM memberi kemudahan kepada mahasiswanya untuk memilih dan meramu kurikulum sendiri. Untuk lebih jelasnya, ada tiga kelompok utama mata kuliah yang diberikan, pertama, mata kuliah dasar yang ditujukan untuk membentuk dan mengadaptasi pola pikir manajemen.

Dalam mata kuliah ini, mahasiswa diajarkan tentang self development dan team building, terdiri atas 10 SKS. Kedua, mata kuliah inti, yang memiliki kontribusi langsung dalam membentuk output, misalnya leadership, strategic thinking dan change management (24 SKS). Ketiga, mata kuliah pilihan, yang ditujukan untuk menambah pengetahuan mahasiswa terhadap topik tertentu, sesuai minatnya. Mahasiswa dapat memilih 8 SKS dari banyak pilihan yang disediakan.

Dalam proses pembelajarannya, mahasiswa juga diberi materi yang bersifat soft skill, misalnya cara berkomunikasi dan mendengarkan dengan baik. Untuk mengasah kemampuan ini, menurut Andi, pihaknya juga memberikan keleluasaan pada mahasiswanya untuk melakukan kegiatan outbound.

Metode pengajarannya pun lebih banyak membahas kasus. Selanjutnya, mahasiswa diminta berpartisipasi untuk membuat penyelesaian kasus tersebut. Yang menarik, PPM menerapkan pinjaman lunak jangka panjang. Artinya, calon mahasiswa yang memiliki kompetensi, bisa sekolah di institusi ini dengan biaya yang akan dibayarkan secara mencicil setelah yang bersangkutan diterima bekerja. "Tentu saja cicilannya akan progresif, sesuai besaran gaji yang terus meningkat," kata Andi.

Untuk memperoleh pinjaman seperti ini, mahasiswa harus mengikuti proses seleksi yang biasanya dilakukan di empat kota besar di Indonesia. Dari rata-rata 200 peserta, hanya 40-50 orang yang lolos seleksi tersebut. Di MM Trisakti, kompetensinya lain lagi. Sejak didirikan pada 1992, sekolah bisnis ini fokus pada pengembangan kewirausahaan. Dalam kurikulumnya, MM Trisakti yang pada survei ini berada di peringkat ke-9 selalu merangsang mahasiswanya agar mempunyai inisiatif, kreatif, arif dan percaya diri. Pengajarannya menggunakan metode yang didasarkan pada pengetahuan praktik.

"Harapannya, lulusan bisa menjadi wirausahawan," ujar Direktur Program Pascasarjana Universitas Trisakti Thoby Mutis. Diakuinya, situasi bisnis selalu berubah. Sebab itu, Trisakti selalu mencari buku-buku terbaru dan memperbarui modulnya. "Kami tidak percaya dengan modul asing. Berdasarkan pengalaman, malah tidak memecahkan masalah," tandasnya. Ini disebabkan, kasus-kasus yang disuguhkan terkadang tidak dapat dipakai di Indonesia. Pada akhirnya, buku-buku tersebut hanya sebagai referensi dan pendalaman materi. Sekarang, metode pengajarannya lebih diarahkan ke problem-based learning. Dalam metode ini, sebelum kuliah para mahasiswa diberi 100-200 pertanyaan esai.

Modulnya dikerjakan bersama-sama dengan Maastrich School of Business dari Belanda. Kendati demikian, Thoby mengaku tidak menganut content global. "Realitas globalisasi memang tidak dapat dimungkiri. Kami akan mengikutinya dan mempersiapkan diri. Namun, fokus kami adalah melihat pasar lokal dan sublokal," ujarnya tegas. Melihat metode pengajaran dan kompetensi yang dimiliki sejumlah sekolah bisnis, barangkali kita pantas berdecak kagum. Mereka tak hanya "habis-habisan" menawarkan keunggulan dalam hal pengajaran dan kurikulum. Di samping itu, fasilitas yang memadai juga menjadi nilai lebih masing-masing sekolah bisnis.

Semua sekolah bisnis menyediakan perpustakaan dan jaringan Internet, yang dapat diakses secara langsung oleh mahasiswanya. "Bahkan nantinya, di setiap ruang kelas PPM disediakan Internet link," tutur Andi. Selain fasilitas Internet, MM Trisakti pun menyediakan layanan 24 jam Trisakti Online Student Services, antara lain berupa AutoSAn (Automatic SMS Announcer).

Adapun MM UI berupaya membangun fasilitas belajar yang lengkap dengan menggandeng perusahaan atau bank. Tak heran, saat ini ada ruang kuliah yang diberi nama Ruang BRI -- hasil kerja sama dengan Bank BRI. Biaya kuliah barangkali juga menjadi pertimbangan dalam memilih sekolah bisnis.

Saat ini, untuk program reguler yang memiliki masa kuliah 16 bulan untuk 50 SKS, biaya kuliah di Prasetiya Mulya berkisar Rp 49 juta. Sedangkan untuk program eksekutif muda selama dua tahun, mahasiswa mesti menyiapkan dana sekitar Rp 54 juta untuk 48 SKS. Dan, untuk program MM eksekutif -- juga 48 SKS selama 2 tahun -- sekitar Rp 56 juta. "Semua biaya ini sudah all in," ungkap Nugroho. MM Trisakti bisa dikatakan menawarkan biaya kuliah relatif lebih terjangkau, Rp 20-25 juta. Terlepas dari peringkat yang ada dalam survei ini, satu pertanyaan menarik terlontar: apakah lulusan lokal kalah pamor dibanding keluaran mancanegara? Kabar tersiar, lulusan lokal masih sering dipandang sebelah mata -- baik oleh user maupun recruiter.

Beberapa perusahaan kabarnya memberi perlakuan berbeda. Lulusan luar negeri -- biasa disebut MBA -- juga terkesan lebih bergengsi dibanding lokal. Benarkah? Menanggapi hal ini, Thoby balik bertanya, "Ukurannya apa? Apakah ukurannya SDM tersebut bisa bekerja di luar negeri atau lebih mudah diterima di perusahaan multinasional?" Diakuinya, persepsi masyarakat yang lebih mengunggulkan sekolah luar negeri memang masih melekat kuat.

"Tapi, itu tidak selalu benar," bantahnya tegas. Andi menambahkan, kalau ingin menilai lulusan MBA luar negeri, terlebih dulu harus dilihat nama sekolahnya. Maksudnya, kalau sekadar dari sekolah bisnis yang kredibilitasnya tak jelas -- misal peringkatnya di bawah 400 -- bisa dikatakan MM lokal jauh lebih unggul. Bila dilihat dari nilai tambahnya, menurut Andi, kelebihan lulusan luar negeri terletak dalam hal penguasaan bahasa Inggris, international senses dan tidak gagap teknologi. Ihwal bahasa, Direktur PT Metrodata Electronics Sjafril Effendi sependapat.

"MBA luar negeri lebih baik dalam kemampuan menulis dan penguasaan bahasa Inggris," katanya. Meski begitu, sebagai user ia tidak membeda-bedakan antara lulusan lokal dan luar negeri. "Bagi kami sama saja. Selama yang bersangkutan bisa lulus tes, kami tidak pernah membedakannya," katanya. Untuk MM lokal, yang sering dipakai Metrodata antara lain dari UI, Prasetiya Mulya dan PPM. Khusus TI, dipercayakannya pada Binus. Bahkan, TNT Logistik Indonesia yang perusahaan multinasional pun tidak membeda-bedakan lulusan lokal dan luar negeri.

Di perusahaan ini, jelas Direktur SDM Country-nya, Irvandi Ferizal, yang dilihat adalah kompetensinya. Tambahan pendidikan MM/MBA, diakuinya, akan menambah wawasan karyawan. "Wawasan manajerialnya menjadi lebih matang," ujarnya. Akan tetapi, itu tidak menjamin 100%. "Ini sangat tergantung individunya," katanya. Yang banyak terjadi, Irvandi melanjutkan, tatkala diwawancarai, sejumlah pelamar bergelar MBA merasa sudah tahu semua dan siap menduduki posisi tinggi. "Mau instan. Padahal, banyak yang belum punya pengalaman dan masih butuh pengujian di lapangan," tuturnya.

Sejauh ini, TNT berpengalaman mempekerjakan lulusan STM IPMI dan Prasetiya Mulya. Di matanya, lulusan lokal pun bisa memuaskan (tentang lokal dan asing ini, lihat “Bukan Lagi the Golden Ticket”). Direktur Pengelola Templar International Consultant Dinna Erwinn mengungkapkan, umumnya MM lokal banyak diserap perusahaan-perusahaan besar yang membidangi jasa, consumer goods atau pertambangan minyak.

Bila berpengalaman, mereka akan langsung ditempatkan di posisi manajerial. Biasanya, lulusan lokal yang banyak diserap pasar berasal dari UI, Prasetiya Mulya, IPMI dan PPM. Menanggapi lulusan lokal yang tetap diserap pelaku bisnis, Wakil Kepala Divisi SDM Bank BNI Lies Purwani berpendapat, untuk lebih menggenjot daya saing lulusannya, sekolah bisnis di Tanah Air sebaiknya meningkatkan kualitasnya. Ke depan, ia berharap, sekolah bisnis tidak hanya menyediakan program yang umum dan mendasar, tapi juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar (user).

Dengan begitu, lulusan lokal dapat dipastikan berdiri sejajar dengan keluaran luar negeri. Tentu, ini tantangan berat buat para pengelola sekolah bisnis di Indonesia. Akan tetapi, inilah konsekuensi agar sekolah bisnis dalam negeri tetap menjadi pilihan sekaligus jawaban kebutuhan dunia bisnis. Juga, jawaban bagi mereka yang seperti Eddy saat ditanya: apa yang diharapkan ketika memutuskan meraih gelar MM? Di mata mereka, sekolah bisnis adalah investasi untuk pengembangan diri dan karier.

Firdanianty Reportase: A. Mohammad B.S., Abraham Susanto, Dede Suryadi, Farida Nawang Nurini, Herning Banirestu, Tutut Handayani Riset: Vika Octavia. swaNET.com, Indonesia Business Online - 9 November 2003



Comment Please