Yuk kita nyobloss......

Oleh KARIM SURYADI

PEMILIHAN Gubernur Jawa Barat 2008 akan memberi pengalaman pertama kepada warganya untuk secara langsung memilih gubernurnya. Berbeda dengan pemilihan sebelumnya, pasar politik pilgub tidak ditentukan oleh seratus orang anggota DPRD Jawa Barat, melainkan dibentuk oleh 28,1 juta pemilih yang secara langsung akan menentukan pilihannya.

Perubahan mekanisme pemilihan gubernur secara langsung lebih dapat memetakan siapa memilih siapa. Sayangnya, perubahan tersebut belum diikuti pergeseran pola partisipasi politik warga Jawa Barat. Meski waktu pemilihan hanya menyisakan hitungan bulan, pasar politik masih tenang. Riak-riak kecil tampak di tubuh partai, namun sebagian besar warga provinsi yang sejak lama dikenal sebagai lumbung suara Golkar ini tampak tidak begitu antusias menyambut perhelatan politik lima tahunan tersebut. Kondisi ini mengisyaratkan dua masalah akut.


Pertama, politik instan masih dominan. Mereka yang berniat maju dalam pilgub dipastikan tidak sedikit. Namun, tidak banyak tokoh yang mengambil ancang-ancang jauh-jauh hari selain nampang lewat spanduk partai. Partai politik dan ormas yang potensial memuculkan nama kandidat pun masih terbiasa main pada "detik-detik terakhir".

Kedua, kultur politik Indonesia (termasuk Jawa Barat) tidak tumbuh dari basis sosial yang kuat. Tidak banyak kader yang terjun ke kancah politik dengan modal jaringan sosial yang luas dan beragam. Kebanyakan kader minus pengalaman dalam mengelola masalah-masalah sosial.

Dalam pemilihan bupati/wali kota, banyak calon yang mumpuni dalam sebuah bidang, namun rentang pengaruhnya terbatas pada komunitas tempat di mana ia selama ini berkiprah. Bila sang kandidat berlatar belakang militer, biasanya ia hanya dikenal di kalangan militer atau hanya diakui andal menangani urusan militer. Kandidat sipil (termasuk pengusaha) pun tak ada bedanya. Oleh karena itu, masa-masa setelah penetapan calon oleh KPU menjadi saat-saat yang genting untuk memperkenalkan diri, alih-alih mengadu program.

Hingga diumumkannya calon gubernur/wakil gubernur yang diusung partai politik, tidak ada tokoh Jawa Barat yang mengorganisasi kegiatan sosial yang menunjang pemasaran politik mereka. Kondisi ini tidak terlepas dari lemahnya volunteerism dan kerja-kerja sosial yang dirancang oleh, dan melibatkan warga.

Lebih parah lagi, kecenderungan formalisme politik menguat di tengah-tengah masyarakat. Banyak urusan yang sejatinya bisa digarap dan diorganisasi warga, namun dilegalisasi ke dalam bentuk komite, lembaga, atau paguyuban yang menggantungkan diri kepada pemerintah daerah. Selain mengikis modalitas sosial dan berpotensi membebani anggaran pemerintah, kecenderungan ini makin mengukuhkan incumbent dan aparatur birokrasi sebagai aktor politik yang menonjol dalam rentang dua masa pemilihan.

"Ngaji" diri

Prakarsa partai menjaring calon potensial menegaskan bahwa episentrum politik belum bergeser meski secara struktur pemilihan gubernur telah berubah. Politik partai tetap dominan meski keputusan untuk memilih telah dilepas ke pasar politik. Bahkan kebiasaan menominasikan ketua partai sebagai kandidat kepala daerah tanpa melewati seleksi internal partai yang ketat belum pupus meski terbukti selera partai tidak kongruen dengan kehendak publik.

Dominasi politik partai dikukuhkan dengan pendaftaran calon gubernur/wakil gubernur melalui partai politik. Sementara diskursus calon perseorangan nyaris layu sebelum berkembang. Langkah ini jauh lebih baik ketimbang sikap partai yang jauh-jauh hari telah menobatkan tokoh partainya sebagai kandidat tanpa melewati mekanisme seleksi.

Penjaringan bakal calon melalui mekanisme partai di satu sisi dapat mengeliminasi konflik internal partai, membuka tabir politik malu-malu kucing, sekaligus mengukuhkan soliditas partai. Namun, seleksi internal semacam ini mudah terjerumus kepada oligarki partai bila proses seleksi internal tidak transparan dan hasil akhir nominasi diserahkan kepada pimpinan partai.

Selain hanya untuk memuluskan pencalonan ketua partai, proses seleksi yang bersandar kepada kehendak elite partai kurang menguntungkan bagi penyehatan kehidupan partai dan demokrasi itu sendiri. Proses ini pun tidak menjamin kemenangan dalam pemilihan, sebab terbukti dalam pemilihan bupati/wali kota, selera, dan kalkulasi partai politik tidak simetris dengan selera dan keputusan pemilih pada tingkat akar rumput.

Benar bahwa menduduki pucuk pimpinan partai menjadi modal penting untuk memenangkan nominasi kandidat di tubuh partai. Namun, kurang bijak bila dipandang sebagai satu-satunya jalan. Bila pikiran warga partai telah dikonstruksi untuk meloloskan ketuanya, ia akan kehilangan daya kritis dalam mempertimbangkan calon potensial yang dimiliki partai, atau tokoh potensial yang bisa direkrut dari luar partai.

Memimpin Jawa Barat tentu tidak sesederhana memimpin sebuah partai politik. Meski sering dihadapkan kepada situasi dan dinamika yang pelik, partai politik bukan miniatur Jawa Barat yang sempurna.

Adu manis calon gubernur/wakil gubernur internal partai akan menjadi langkah awal yang menentukan keberhasilan partai dalam pilgub. Kejujuran partai dalam menimbang kapasitas, kapabilitas, akseptabilitas calon potensial akan menjadi kunci sukses partai dalam mendongkrak muruah rakyat Jawa Barat.

Dua pertanyaan penting harus dijawab setiap calon yang akan maju lewat pintu partai politik. Pertama, manakah yang diinginkan, lolos dalam pencalonan partai atau memenangi pemilihan gubernur. Bila sekadar ingin lolos dalam pencalonan, sang calon, dan tim suksesnya cukup memperhitungkan konfigurasi kekuatan di dalam partai politik. Namun bila ingin meraih yang kedua, pertimbangan menyangkut konfigurasi kekuatan di dalam tubuh partai politik saja tidak memadai. Pilihan partai harus dikonfirmasikan kepada publik calon pemilih sebelum pemilihan gubernur digelar. Banyak cara dapat ditempuh. Namun apa pun pilihannya, mendengarkan suara publik secara jujur dan apa adanya akan menjadi prediktor penting dalam membaca kecenderungan perilaku pemilih dalam Pilgub 2008.

Pertanyaan kedua yang penting dijawab adalah sanggupkah sang kandidat memegang amanah, memimpin Jawa Barat yang sejak lima tahun terakhir memancangkan visi sebagai provinsi termaju? Niat baik saja tidak cukup. Kemauan saja tidak memadai. Evaluasi dan ngaji diri harus menjadi titik anjak dalam pencalonan, lebih dari sekadar ngagugu kahayang.

Memimpin sekitar empat puluh juta rakyat Jawa Barat bukan perkara yang hanya harus dikonfirmasi di akhirat kelak. Memimpin Jawa Barat harus tampak dalam cara-cara mengatur kehidupan sosial, mengelola harapan, dan mengurangi kecemasan warga Jawa Barat dalam situasi sosial yang makin berat dan kompetitif.

Musuh bersama

Pemilihan gubernur tidak perlu didesain dalam situasi istimewa. Ia harus diletakkan dalam agenda politik yang rutin, yang biasa, namun tidak biasa-biasa saja. Siapa pun harus mengenyahkan niat menciptakan situasi yang luar biasa. Namun, siapa saja yang berniat maju dalam pencalonan harus menyiapkan diri.

Menata diri dan membangun jaringan harus dilakukan jauh-jauh hari sebelum yang bersangkutan mengumumkan pencalonannya. Apa pun yang dilakukan seseorang yang diketahui sebagai calon, berkesan sebagai kampanye. Kegiatan amal sekalipun akan ditandai sebagai tindakan yang penuh pamrih.

Di negara-negara yang demokrasinya sudah matang, pencalonan seseorang dalam sebuah jabatan sudah terbaca dari kepantasannya berkat keandalannya mengatasi masalah sosial, memobilisasi dukungan, dan mengorganisasi warga. Kandidat tidak muncul tiba-tiba. Ia tidak lahir dari titah partai atau wangsit, tetapi tumbuh dari bawah dan besar karena tempaan pengalaman mengatasi masalah-masalah kewargaan.

Bukan hal yang berlebihan bila rakyat Jawa Barat menanti tampilnya seorang gubernur dan wakil gubernur terpilih yang menjadi bagian dari rakyat Jawa Barat yang sapapait samamanis memandu hirup jeung huripna sekitar empat puluh juta warga Jawa Barat. Dari sisi ini, pintar saja tidak cukup karena pemimpin yang pintar bisa saja mengelabui rakyatnya. Popularitas pun tidak memadai karena pemimpin yang populer cenderung memandang kelemahan pengikutnya sebagai aib yang harus ditutupi demi kemolekan penampilannya.

Lebih dari itu, calon yang maju selayaknya bukan hanya menjadi bagian dari warga Jawa Barat, tetapi mampu merepresentasikan dalam dirinya nilai dan norma-norma adiluhung yang dianut rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu, yang didamba bukan pribadi setengah dewa, melainkan pribadi yang masagi. Ia adalah putra terbaik Jawa Barat yang berwibawa bagai seorang "bapak", namun santun dan lembut bagai seorang "ibu", sekaligus manajer yang brilian, yang mampu ngeuyeuk dayeuh ngolah nagara secara jujur, bersih, dan mampu membersihkan.***

Penulis, dosen Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, peneliti pada Yayasan Indonesia Gemilang (YIG).

Sumber : www.pikiran-rakyat.co.id


Comment Please